Ketika tengah hari mulai menyapa portir lewat
kilogram
kereta lain berangkat bersama peluhmu yang
menggendong
tas, udara berdesak-desak dengan penumpang, hawa
panas
mengikuti bersama bunyi yang dioles roda ke lurus
pelat.
Kaca berkeretak seperti dipukul masa silam
dahi mengernyit menghafal berapa kota
kausinggahi tanpa pengawal,
mengamati bangku tunggu yang lapang sejak ditinggal,
pohon-pohon terseret jarak, dan jumlah palang
yang meletakkan orang dalam antrean.
Tak ada yang mengawalmu dari sibuknya kota
semua orang mengimpikan dompet tebal
ketika perasaan mulai tak laku di pasar tumpah.
Tak ada yang mengawalmu dari macet parah
di mana orang-orang jual beli maki dan umpat
meski sebelumnya tak saling mengenal
atau berbagi bir di beranda rumah.
Perjalananmu mengurut waktu dari punggung yang
mengecil
di keramaian dan rasa hormat yang memalingkan mukanya
mencari telinga tak berpalang sampai hujat tak mendahului
apa yang sebenarnya diri ungkap.
Walau bahuku ada untuk bel keberangkatan yang
mengirimimu
seruan pulang, kau tetap meminggirkan mata angin dan
segelar peta
bersimpuh pada dini hari yang memiliki lebih dari sekadar
telinga.
Sebab kau bukan merpati yang melulu dikekang
mitos manusia. Mengangkasalah bak elang
di kelepak panji yang berulang cabik ketakutan.
2020
0 komentar: