Kami menyusun pelayaran dari buku-buku tebal dan sayup bulan, ketika cinta monyet menyusup ke atas meja belajar. Ketika lampion pecah menyaru kuning langsat dada perawan, kami setuju melepas jangkar, tak lagi bertarung dengan badai yang gentayang.
Bahasa kami antara
jerit tangan menggeret tambang dan lawan yang sepuluh kali lebih cekatan.
Mengapa kau tega menyingkirkan kami? Yang mengenal iklan sebatas kepak seekor pelikan. Pekak meriam kapal rampasan. Kepala kapten urung dipenggal demi maklumat.
Kami sarungkan pisau,
memilih tinta untuk menghalau sejarah kosong. Kami bentuk laboratorium,
mencampur hikayat dengan siang penadah karbon. Melubangi botol dan gentong lewat sejumlah teguk ke tenggorok. Sebagai prajurit, kami tak segan membolak balik pagi. Berpesta rum di geladak atau pelihara mesiu di buritan, menjajal imperium dari luas bumi tak terbaca. kapal kami
bukanlah museum, hanya etalase bagi penasaran yang kepul.
Adalah harta kami, jalur menamatkan kebimbangan
sendiri atau mengenal lapar sebab laut belum dikuasai. Langit
senantiasa ramah bila dari mulut kami terlantun balada. Kematian menjadi lumrah, hingga tengkorak yang lekat di layar, bengkarak yang menyilang kubur ratapan. Bangkit menepuk mendung dan camar. Tak pernah sudi sekadar lambang.
September,
2018
0 komentar: